HADIS SAHIH
(Klasifikasi Hadis Ditinjau
dari Segi Kualitas)
Oleh: Ibnu Muchtar
Ditinjau
dari segi kualitas, hadis Ahad itu terbagi kepada dua bagian:
1)
disebut Maqbul (diterima)
Yaitu
hadis yang memenuhi persyaratan untuk diterima. Hadis maqbul ada dua macam,
Shahih dan Hasan.
2)
Mardud (ditolak)
Yaitu hadis yang tidak memenuhi persyaratan untuk
diterima. Yang termasuk hadis mardud adalah hadis dha’if.
Kriteria Hadis
Shahih
هُوَ مَا نَقَلَهُ عَدْلٌ
تَامُّ الضَّبْطِ مُتَّصِلُ السَّنَدِ غَيْرُ مُعَلَّلٍ وَلاَشَاذٍّ
Yaitu hadis yang
diriwayatkan oleh rawi yang adil, sempurna (hafalan), bersambung sanadnya
(muttasil), tidak ada ‘illah (cacat), tidak Syadz
Syarat-syarat hadis
shahih:
a)
Rawinya bersifat adil
Yaitu
rawinya orang Islam, baligh (dewasa), berakal, berakhlaq mulia, ketakwaan, jauh
dari amal maksiat seperti Syirik, fasik, dusta, bid’ah dan lain-lain.
b)
Sempurna hafalan (tammu
dhabth)
a.
Tidak pelupa, artinya ingatnya lebih banyak
daripada lupanya.
b.
Hafal terhadap apa yang didiktekan kepada
muridnya, bila ia menyampaikan hadis dari hafalan dan terjaga tulisannya (kitab) dari kekeliruan,
bila ia meriwayatkan dari kitabnya.
c.
Memahami Maksud serta mengetahui makna hadis
yang diriwayatkannya.
c)
Bersambung Sanadnya.
Yaitu
setiap rawi bertemu dan menerima langsung apa yang diriwayatkannya itu dari
gurunya.
d)
Tidak ada ‘illat
Yaitu
dalam sanad dan matannya tidak ada penyakit atau cacat yang tersembunyi,
walaupun secara lahiriah tampaknya mulus/selamat.
e)
Tidak Syadz.
Yaitu
tidak boleh bertentangan dengan hadis yang lebih Shahih (rawinya lebih tsiqat/kredibel).
Contoh Hadis
Shahih
Matan (Teks Hadis)
عَنْ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ
قَالَ: رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِذَا سَجَدَ
وَضَعَ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ وَإِذَا نَهَضَ رَفَعَ يَدَيْهِ قَبْلَ
رُكْبَتَيْهِ
Dari
Wail bin Hujr, ia berkata, “Aku melihat Rasulullah saw. bila hendak sujud
beliau menyimpan kedua lututnya sebelum kedua tangannya, dan bila bangkit
beliau mengangkat kedua tangnnya sebelum kedua lututnya.”
Skema Sanad (Jalur Periwayatan) Versi Imam at-Tirmidzi
dan Al-Haitsami
Sumber Informasi (Pencatat Hadis)
At-Tirmidzi,
Sunan At-Tirmidzi II:56; Al-Khatib Al-Bagdadi, Maudhihu Auhamil jam’I
Wat Tafriqi II:433; Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah
I:318; Ad-Daraquthni, Sunan
Ad-Daraquthni I:345; At-Tabrani, Al-Mu’jamul kabir XII:39-40;
Ad-Darimi, Sunan Ad-Darimi I:303; Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah
I:477-478; Ibnu Hiban, Al-Ihsan Bi tartibi Shahibni Hibban III:190; Abu
Daud, Sunan Abu Daud I:193; An Nasai, Sunan An-Nasai II:553,
II:584; As-Sunanul Kubra I:229, I:247; Al-Baihaqi, As-Sunanus Sugra I:136; As-Sunanul Kubra II:98.
Pembagian Hadis Shahih.
Hadis Shahih terbagi kepada dua
macam:
a. Shaihih
Lidzatihi.
Yaitu hadis yang
memenuhi persyaratan di atas. Contoh:
لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِى لاََمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ
عِنْدَ كُلِّ صَلاَةٍ
“kalaulah tidak memberatkan atas umatku, pasti aku suruh mereka
untuk bersiwak (bersikat gigi) setiap kali hendak salat.”
Al-Bukhari
b.
Shahih
La Lidzatihi/li ghairihi
Yaitu
hadis yang dalam sanadnya terdapat rawi yang tidak sempurna hafalannya, tetapi
terkenal orang yang tsiqat (asalnya Hasan Lidzatihi). Kemudian diperkuat oleh
jalan lain yang seimbang atau lebih kuat.
Contoh :
At-Tirmidzi
Hadis siwak
riwayat At-Tirmidzi ini asalnya hasan Lidzatihi, karena dalam sanadnya ada
Muhammad bin Amr, ia tidak sempurna hafalannya. Kemudian diperkuat oleh riwayat
Al-Bukhari di atas, sehingga keadaannya menjadi Shahih La Lidzatihi.
Syarah
Hadis Sahih
الحمد لله الذي أرسل رسوله بالهدى...
Ikhwatu Iman yang dimulyakan
Allah
Alhamdulillah atas izin Allah kita dapat dipertemukan kembali untuk
melanjutkan kajian ilmu hadis bagian ke-6. Pada hari Sabtu yang lalu telah kita
kaji tentang pengertian hadis ahad. Adapun materi kajian pada hari ini adalah
tentang hadis sahih.
Ikhwatu Iman yang dimulyakan
Allah
Ditinjau dari
segi kualitas, hadis Ahad itu terbagi kepada dua bagian:
Pertama disebut Maqbul, yaitu hadis yang
memenuhi persyaratan untuk diterima. Hadis maqbul ada dua macam, yakni shahih
dan Hasan.
Kedua disebut Mardud, yaitu hadis yang tidak memenuhi persyaratan untuk
diterima, alias ditolak. Hadis maqbul juga ada dua macam, yakni daif dan maudhu
atau palsu. Dengan demikian, apa yang disebut hadis Shahih itu? Menurut para
ahli hadis yang dimaksud hadis sahih
هُوَ مَا نَقَلَهُ عَدْلٌ تَامُّ الضَّبْطِ مُتَّصِلُ السَّنَدِ
غَيْرُ مُعَلَّلٍ وَلاَشَاذٍّ
adalah hadis yang diriwayatkan oleh rawi adlun, sempurna (hafalan), bersambung sanadnya
(muttasil), tidak ada ‘illah (cacat), tidak Syadz
Berdasarkan
definisi/pengertian tersebut kita dapat mengetahui bahwa suatu hadis dapat
dihukumi atau ditetapkan sahih apabila memenuhi beberapa syarat:
Syarat Pertama, orang-orang yang meriwayatkannya harus 'adlun, yaitu
muslim, baligh, taqwa, dan memelihara muru-ah atau kehormatan diri.
Muslim
Seorang rawi/periwayat hadis disyaratkan harus beragama
Islam, karena ia menyampaikan kabar-kabar yang membenarkan ketetapan ajaran
Islam, sedangkan orang-orang kafir memusuhi kaum muslimin dalam urusan agama,
dan permusuhan itu telah mendorong mereka untuk berusaha menghancurkan ajaran
Islam dengan cara memasukkan sesuatu yang bukan dari Rasul agar disangka bahwa
hal itu berasal dari Rasul. Persayaratan muslim itu mengacu kepada firman Allah:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُونِكُمْ لَا يَأْلُونَكُمْ خَبَالًا
وَدُّوا مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتْ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي
صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمْ الْآيَاتِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ
“Hai
orang-orang yang beriman! Janganlah kamu anggap sebagai sahabat karib lain
daripada (golongan) kamu; mereka tidak putus-putus (berikhtiar) menarik
kecelakaan atas kamu; mereka suka apa yang menyusahkan kamu; sesungguhnya
kebencian telah terbit dari mulut mereka; tetapi apa yang disembunyikan hati
mereka, ada lebih besar. Kami telah menerangkan tanda-tanda kepada kamu, jika
kamu (mau) berfikir.” Q.s. Ali ‘Imran [3]:118
Beragama Islam dijadikan syarat rawi itu dalam hal
menyampaikan hadis, bukan ketika menerimanya. Bisa jadi ketika mendengar hadis
itu dia dalam keadaan kafir, tapi ketika menyampaikannya dia sudah masuk Islam,
seperti sahabat Nabi bernama Jubair bin Muth‘im (W. 59 H/678 M). Ketika masih
kafir ia pernah mendengar Nabi saw. membaca surah al-Thur pada waktu salat
maghrib. Setelah masuk Islam berita tersebut diriwayatkannya kepada sahabat
yang lain dan juga tabi'in. Maka riwayat itu dapat diterima karena yang jadi
tolokukur bukan pada saat menerima, namun pada saat menyampaikan ia sudah
muslim.
Taqwa
Menurut
Ibn Hajar, yang dimaksud dengan takwa di sini ialah meninggalkan
perbuatan-perbuatan dosa, seperti syirik, bid’ah, dan fasiq (Lihat,
al-Shan’ani, Taudhih al-Afkar li Ma’ani Tanqih al-Anzhar, Beirut: Dar el-Fikr,
t.t. juz II, hal. 18)
Pensyaratan taqwa mengacu kepada firman Allah:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ
جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ
فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
“Hai
orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu
berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah
kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal
atas perbuatanmu.” Q.s.
Al-Hujurat [49]:6
Memelihara
muru-ah
Menurut Ibn Hajar, muru-ah adalah kesempurnaan manusia,
seperti jujur dalam berbicara, mencurahkan kebaikan, mencegah sesuatu yang
merugikan/menyusahkan orang lain. (Lihat, Al-Shan’ani, loc.cit.)
Keterangan tersebut menunjukkan bahwa muru-ah lebih banyak
berkaitan dengan ukuran-ukuran moral manusia.
Inilah sifat-sifat yang harus terwujud pada seorang rawi sehingga ia termasuk
rawi yang ‘adil. Setiap rawi yang memenuhi sifat-sifat adil
tersebut diberi predikat /sebutan shaduq/shadiq.
Syarat kedua, orang-orang yang meriwayatkannya harus tamud dhabthi, yaitu
1.
rawi tersebut hafal dengan
baik riwayat yang telah didengar/diterimanya
2.
rawi tersebut dapat
memahami dengan baik riwayat yang telah didengar/diterimanya
3.
ketika menyampaikan riwayat
itu ia harus hapal betul bila yang disampaikan itu bersumber dari hapalannya,
atau dapat menjaga tulisannya dari kekeliruan bila yang disampaikan itu
bersumber dari catatan atau buku
Apabila sifat ‘adil dan al-dhabt dapat terwujud pada
seorang rawi, maka rawi itu disebut tsiqat
Syarat
ketiga,
hadis itu diriwayatkan dengan sanad/jalur muttashil (bersambung).
Maksudnya
setiap rawi yang ikut ambil bagian dalam periwayatan, disyaratkan bertemu dan
menerima langsung apa yang diriwayatkannya itu dari gurunya (Lihat, Manhaj
al-Naqd fi Ulum al-Hadits, Dar el-Fikr, 1996, hal. 242) Syarat ini diberlakukan
bagi segenap rawi pada tiap jenjang generasi, mulai dari generasi pencatat
hadis hingga sahabat Nabi saw.
Aspek-aspek yang harus diperhatikan dalam ketersambungan
sanad adalah
(a) nama rawi yang terlibat dalam
periwayatan hadis,
(b) metode/cara penerimaan yang digunakan oleh masing-masing rawi
(c) lambang-lambang/simbol-simbol cara periwayatan yang digunakan
masing-masing rawi ketika meriwayatkannya, seperti sami’tu (artinya saya
mendengar), haddatsana (artinya telah menceritakan kepada kami), akhbarani
(artinya telah mengabarkan kepadaku)
lambang-lambang metode periwayatan terkadang kurang
mendapatkan perhatian yang khusus bahkan seringkali terabaikan. Padahal ‘ilal
al-hadits (cacat hadis) tidak jarang “tersembunyi” pada lambang-lambang
tertentu yang digunakan oleh para periwayat dalam meriwayatkan hadis. Sebagai
contoh, hadis tentang melemparkan tiga kepal tanah ketika penguburan jenazah
riwayat Ibnu Majah (W. 273 H/886 M) dan al-Thabrani (W. 360 H/970 M). Hadis ini
daif bukan karena tidak 'adil dan dhabthnya rawi, melainkan dari segi
ketersambungan jalur periwayatan, yaitu al-Auza’i[1] yang sebenarnya tidak menerima hadis ini dari gurunya bernama Yahya bin
Abu Katsir. Demikian
pula Yahya bin Abu Katsir dari gurunya Abu Salamah.
Contoh ini menunjukkan bahwa keberadaan lambang-lambang
periwayatan memegang peranan yang sangat penting dalam proses penyebaran hadis
Nabi.
Syarat keempat:
tidak ada ‘ilah.
Maksudnya
hadis tersebut terhindar dari berbagai penyakit hadis yang dapat menodai
kesahihannya, seperti me-mutasil-kan (menyambungkan) sanad yang munqathi
(terputus), me-marfu-kan hadis mauquf (menyatakan perkataan sahabat sebagai
sabda Nabi), terdapat al-ziyadah (tambahan kalimat) dan atau al-idraj
(sisipan lafal) pada matan.
Untuk
mengetahui illat hadis diperlukan penelitian yang lebih cermat sebab
hadis yang bersangkutan tampak seperti shahih. Cara
menelitinya antara lain dengan membanding-bandingkan semua sanad yang ada untuk
matan yang isinya semakna. Ibnul Madini (w.234 H/849 M) dan al-Khatib
al-Baghdadi (w. 463 H/1072 M) mengemukakan bahwa langkah-langkah yang perlu
dilakukan untuk meneliti ilat hadis adalah (1) menghimpun seluruh sanad hadis
yang semakna (bila memiliki mutabi' dan atau syahid); (2) meneliti seluruh rawi
dalam berbagai sanad itu berdasarkan kriteria kritik hadis yang telah
dikemukakan oleh para kritikus hadis; (3) kemudian membandingkan sanad yang
satu dengan yang lain. [2]
Syarat kelima: tidak syadz.[3]
Menurut
Imam as-Syafi'i (150-204 H/767-820 M), hadis syadz adalah hadis yang
diriwayatkan oleh orang yang 'adil dan dabith, tetapi riwayatnya bertentangan
dengan riwayat yang dikemukakan oleh orang-orang yang 'adil dan dabith dalam
jumlah yang lebih banyak.[4]
Apabila
suatu hadis telah memenuhi kelima syarat tersebut, maka ulama hadis menilai
bahwa hadis tersebut dapat ditetapkan sahih. Sebaliknya, apabila ada sebagian
syarat yang tidak terpenuhi, maka hadis yang bersangkutan bukanlah hadis sahih.
Ikhwatu Iman yang dimulyakan
Allah
Contoh Hadis Shahih
Data Rawi
Wail bin Hujr (Yaman, wafat zaman Mu’awiyah tahun 50-an)
Kulaib bin Syihab (Thabaqat ke-2/Kibar Tabi’in, Kufah,
Ashim bin Kulaib (Thabaqat ke-5/sezaman dengan shigar,
Kufah, w. 130 lebih
I. Syarik bin Abdullah (Thabaqat ke-8/Tabi’ut Tabi’in,
Kufah, w. 178 H)
2. Israil bin Yunus (Thabaqat ke-7/Tabi’ut Tabi’in,
Kufah, w. 160 H)
Yazid bin Harun (Thabaqat ke-9/Tabi’ut Tabi’in, Wasith,
w. 206 H)
Abdullah bin Munir (Thabaqat ke-11/Tabi’i Tabi’ut Tabi’in,
Marwurudzi, w. 241 H) dan kawan-kawan
Imam at-Tirmidzi, Muhamad bin Isa (Turmudz, wafat 279 H)
Al-Haitsami, Nuruddin Ali bin Abu Bakar (w. 807 H)
Dilihat
dari segi proses penetapan kesahihannya Hadis Shahih itu terbagi kepada dua
macam:
Pertama disebut Shahih Lidzatihi.
Yaitu
hadis yang memenuhi kelima persyaratan yang tadi telah dijelaskan. Contoh hadis
sahih lidzatihi adalah:
لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِى لاََمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ
عِنْدَ كُلِّ صَلاَةٍ
“kalaulah tidak memberatkan atas umatku, pasti aku suruh mereka
untuk bersiwak (bersikat gigi) setiap kali hendak salat.”
Kedua disebut Shahih La Lidzatihi/li ghairihi
Yaitu
hadis yang dalam sanadnya terdapat rawi yang tidak sempurna hafalannya, namun
diperkuat oleh rawi lainnya dengan kualitas yang sebanding atau lebih. Sebagai
contoh hadis sahih lidzatihi adalah: Hadis tentang bersiwak riwayat At-Tirmidzi.
Pada sanad hadis ini terdapat rawi bernama Muhammad bin Amr, ia tidak sempurna
hafalannya. Namun karena diperkuat oleh riwayat Al-Bukhari maka derajatnya naik
menjadi Shahih La Lidzatihi.
Demikian pembahasan
ringkas tentang hadis sahih yang dapat disampaikan pada pertemuan ini. insya
Allah pada sabtu mendatang akan kita kaji pengertian hadis hasan. Aqulu qauli
hadza…
Penulis,
pengajar hadis dan ulumul hadits pada Pesantren Tahdzibul
Washiyyah, Jl. Gumuruh No. 69
staf sekretariat Dewan Hisbah PP Persis
Wakil Ketua Puslitbang PP Pemuda Persis
[1]Namanya Abdurrahman bin ‘Amr bin Yuhmad. Lahir di Ba’labaka (kota
di Lebanon) pada 88 H/706 M. Ayahnya meninggal ketika ia masih kecil. Ia dibawa
ibunya berpindah dari satu negeri ke negeri lainnya. Pada awal pembelajaran, ia
lebih konsentrasi kepada studi sastra daripada hadis. Setelah merasa cukup
dengan ilmu tersebut, ia mulai menekuni hadis. Berkat kecerdasannya, dalam
waktu relatif singkat, ia telah mampu berfatwa pada usia 25 tahun. Pada 157
H/773 M, ia kembali ke kampung halamannya dan wafat di sana (Lihat, al-Dzahabi,
Tadzkirah al-Huffazh, op.cit. juz I, hal. 178-183; Dr. Dhiya al-Rahman, Dirasat
fi al-Jarh wa al-Ta’dil, op.cit. hal. 327-330)
[2] Ibnu Shalah, Ulum
al-Hadits, h. 82; Nur al-Din ‘Itr, Manhaj an-Naqd, h. 450-452.
[3]Maksudnya hadis tersebut tidak bertentangan
dengan periwayatan rawi lain yang lebih kuat, baik dari segi hafalan maupun
jumlah hadis. (Lihat, ‘Itr, op.cit., hal. 242)
[4] Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits, hal.
347; al-Hakim, Ma'rifah Ulum al-Hadits, hal. 119.