Bahaya Hadits Dla’if Dan Mawdlu’ (Palsu)
Di
antara bencana besar yang menimpa kaum Muslimin sejak periode-periode pertama
adalah tersebar luasnya hadits-hadits Dla’if (lemah) dan Mawdlu’
(palsu) di tengah mereka. Tidak ada seorang pun yang dikecualikan di sini
sekalipun mereka adalah kalangan para ulama mereka kecuali beberapa gelintir
orang yang dikehendaki Allah, di antaranya para imam hadits dan Nuqqaad (Para
Kritikus hadits) seperti Imam al-Bukhary, Ahmad, Ibn Ma’in, Abu Hatim ar-Razy
dan ulama lainnya.
Penyebaran
yang secara meluas tersebut mengakibatkan banyak dampak negatif, di antaranya
ada yang terkait dengan masalah-masalah aqidah yang bersifat ghaib dan di
antaranya pula ada yang berupa perkara-perkara Tasyri’ (Syari’at).
Adalah
hikmah Allah Ta’ala Yang Maha Mengetahui, bahwa Dia tidak membiarkan
hadits-hadits yang dibuat-buat oleh orang-orang yang benci terhadap agama ini
untuk tujuan-tujuan tertentu menjalar ke tubuh kaum Muslimin tanpa mengutus
orang yang akan menyingkap kedok yang menutupi hakikatnya dan menjelaskan
kepada manusia permasalahannya. Mereka itulah para ulama Ahli hadits dan
pembawa panji-panji sunnah Nabawiyyah yang didoakan Rasullah dalam sabdanya,
“Semoga Allah mencerahkan (menganugerahi nikmat) seseorang yang mendengarkan
perkataanku lalu menangkap (mencernanya), menghafal dan menyampaikannya. Betapa
banyak orang yang membawa ilmu tetapi tidak lebih faqih (untuk dapat menghafal
dan menyampaikannya) dari orang yang dia sampaikan kepadanya/pendengarya (karena
ia mampu menggali dalil sehingga lebih faqih darinya).” (HR.Abu Daud dan
at-Turmudzy yang menilainya shahih).
Para
imam tersebut –semoga Allah mengganjar kebaikan kepada mereka dari kaum
Muslimin- telah menjelaskan kondisi kebanyakan hadits-hadits tersebut dari sisi
keshahihan, kelemahan atau pun kepalsuannya dan telah membuat dasar-dasar yang
kokoh dan kaidah-kaidah yang mantap di mana siapa saja yang menekuni dan
mempelajarinya secara mendalam untuk mengetahuinya, maka dia akan dapat
mengetahui kualitas dari hadits apa pun meski mereka (para imam tersebut) belum
memberikan penilaian atasnya secara tertulis. Itulah yang disebut dengan ilmu
Ushul Hadits atau yang lebih dikenal dengan Llmu Mushthalah Hadits.
Para
ulama generasi terakhir (al-Muta`akkhirin) telah mengarang beberapa buku yang
khusus untuk mencari hadits-hadits dan menjelaskan kondisinya, di antaranya
yang paling masyhur dan luas bahasannya adalah kitab al-Maqaashid al-Hasanah
Fii Bayaan Katsiir Min al-Ahaadiits al-Musytahirah ‘Ala al-Alsinah karya
al-Hafizh as-Sakhawy. Demikian juga buku semisalnya seperti buku-buku Takhriijaat
(untuk mengeluarkan jaluar hadits dan kualitasnya) yang menjelaskan kondisi
hadits-hadits yang terdapat di dalam buku-buku pengarang yang buku berasal dari
Ahli Hadits (Ulama hadits) dan buku-buku yang berisi hadits-hadits yang tidak
ada asalnya seperti buku Nashb ar-Raayah Li Ahaadiits al-Bidaayah karya
al-Hafizh az-Zaila’iy, al-Mugny ‘An Haml al-Asfaar Fii al-Asfaar Fii
Takhriij Maa Fii Ihyaa` Min al-Akhbaar karya al-Hafizh al-‘Iraqy, at-Talkhiish
al-Habiir Fii Takhriij Ahaadiits ar-Raafi’iy al-Kabiir karya al-Hafizh Ibn
Hajar al-‘Asqalany, Takhriij Ahaadiits al-Kasysyaaf karya Ibn Hajar juga
dan Takhriij Ahaadiits asy-Syifaa` karya Imam as-Suyuthy, semua buku
tersebut sudah dicetak dan diterbitkan.
Sekalipun
para imam tersebut –semoga Allah mengganjar kebaikan kepada mereka- telah
melanggengkan jalan kepada generasi setelah mereka, baik buat kalangan para
ulama maupun para penuntut ilmu hingga mereka mengetahui kualitas setiap hadits
melalui buku-buku tersebut dan semisalnya, akan tetapi –sangat disayangkan
sekali- kami melihat mereka malah telah berpaling dari membaca buku-buku
tersebut. Maka karenanya, mereka pun buta terhadap kondisi hadits-hadits yang
telah mereka hafal dari para guru mereka atau yang mereka baca pada sebagian
buku yang tidak interes terhadap hadits yang shahih dan valid. Karena itu pula,
kita hampir tidak pernah mendengarkan suatu wejangan dari sebagian Mursyid
(penyuluh), ceramah dari salah seorang ustadz atau khuthbah seorang khathib
melainkan kita dapati di dalamnya sesuatu dari hadits-hadits Dla’if dan Mawdlu’
tersebut, dan ini amat berbahaya di mana karenanya dikhawatirkan mereka semua
akan terkena ancaman sabda beliau SAW., yang berbunyi, “Barangsiapa yang
telah berdusta terhadapku secara sengaja, maka hendaklah dia mempersiapkan
tempat duduknya di api neraka.” (Hadits Shahih Mutawatir)
Walau
pun secara langsung mereka tidak menyengaja berdusta, namun sebagai imbasnya
mereka tetap berdosa karena telah menukil (meriwayatkan) hadits-hadits yang
semuanya mereka periksa padahal mengetahi secara pasti bahwa di dalamnya
terdapat hadits yang Dla’if atau pun hadits dusta. Mengenai hal ini, terdapat
isyarat dari makna hadits Rasulullah yang berbunyi, “Cukuplah seseorang itu
berdusta manakala ia menceritakan semua apa yang didengarnya (tanpa disaring
lagi-red.,).” (HR.Muslim) dan hadits lainnya dari riwayat Abu Hurairah.
Kemudian
dari itu, telah diriwayatkan bahwa Imam Malik pernah berkata, “Ketahuilah bahwa
tidaklah selamat seorang yang menceritakan semua apa yang didengarnya dan
selamanya, ia bukan imam bilamana menceritakan semua apa yang didengarnya.”
Imam Ibn Hibban berkata di dalam kitab Shahihnya, “Pasal: Mengenai dipastikannya masuk neraka, orang yang menisbatkan sesuatu kepada al-Mushthafa, Rasulullah SAW., padahal ia tidak mengetahui keshahihannya,” setelah itu, beliau mengetengahkan hadits Abu Hurairah dengan sanadnya secara marfu’, “Barangsiapa yang berkata dengan mengatasnamakanku padahal aku tidak pernah mengatakannya, maka hendaklah ia mempersiapkan tempat duduknya di neraka.” Kualitas sanad hadits ini Hasan dan makna asalnya terdapat di dalam kitab ash-Shahiihain dan kitab lainnya.
Selanjutnya,
Ibn Hibban berkata, “Pembahasan mengenai hadits yang menunjukkan keshahihan
hadits-hadits yang kami isyaratkan pada bab terdahulu,” kemudian beliau
mengetengahkan hadits dari Samurah bin Jundub dengan sanadnya, dia berkata,
Rasulullah SAW., bersabda, “Barangsiapa yang membicarakan suatu pembicaraan
mengenaiku (membacakan satu hadits mengenaiku) di mana ia terlihat berdusta,
maka ia adalah salah seorang dari para pendusta.” (Kualitas hadits ini
Shahih, dikeluarkan oleh Imam Muslim di dalam mukaddimahnya dari hadits Samurah
dan al-Mughirah bin Syu’bah secara bersama-sama). Ibn Hibban berkata, “Ini
adalah hadits yang masyhur.” Kemudian dia melanjutkan, “Pembahasan mengenai
hadits kedua yang menunjukkan keshahihan pendapat kami,” lalu dia
mengetengahkan hadits Abu Hurairah yang pertama di atas.
Dari
apa yang telah kami sampaikan di atas, jelaslah bagi kita bahwa tidak boleh
menyebarkan hadits-hadits dan meriwayatkannya tanpa terlebih dahulu melakukan Tatsabbut
(cek-ricek) mengenai keshahihannya sebab orang yang melakukan hal itu, maka
cukuplah itu sebagai kedustaan terhadap Rasulullah yang bersabda, “Sesungguhnya
berdusta terhadapku bukanlah berdusta terhadap salah seorang diantara kamu;
barangsiapa yang berdusta terhadapku secara sengaja, maka hendaklah dia
mempersiapkan tempat duduknya di api neraka.” (HR.Muslim dan selainnya),
wallahu a’lam.
(SUMBER: Mukaddimah Syaikh al-Albany di dalam bukunya Silsilah al-Ahaadiits adl-Dla’iifah Wa al-Mawdluu’ah Wa Atsaruha as-Sayyi` Fi al-Ummah, jld.I, h.47-51 dengan sedikit perubahan dan pengurangan)
0 comments:
Post a Comment